Sabtu, 27 Desember 2014

USTAZAH NUR sex

Hari masih pagi. Masih belum
banyak murid yang hadir di sekolah.
Ustazah Nur Saffiyah sengaja
berangkat lebih pagi untuk mampir
ke klinik kesehatan yang ada di
sebelah sekolah. Ia ingin
memeriksakan diri, sudah hampir 3
hari ini ia merasa nyeri dan sakit di
bagian bawah perut. Terutama di
dekat kemaluannya, padahal saat itu
ia tidak sedang datang bulan. Tidak
biasanya ia begini, karena itulah ia
jadi takut. Jangan-jangan ini tanda-
tanda kanker rahim, rekan sesama
guru pernah mengalaminya. Lebih
baik berjaga-jaga daripada terlambat
sama sekali.
Usia Ustazah Nur sendiri masih
muda, berkisar 26 tahun. Baru tahun
kemarin menikah dan dikaruniai 1
orang anak. Sekarang bayinya yang
baru berusia 2 bulan diasuh oleh
ibunya karena tidak mungkin
Ustazah Nur membawanya ke
sekolah. Selain karena sifatnya yang
rendah diri dan baik hati, ibu guru
yang satu ini juga dikenal karena
kecantikan dan kemolekan
tubuhnya. Mungkin itu turunan dari
ibunya yang berdarah Cina.
Setelah melahirkan, pesona dan
kharismanya bukannya berkurang,
malah semakin menjadi-jadi.
Wajahnya jadi tampak dua kali lebih
jelita, kulitnya jadi lebih putih,
sementara body-nya -jangan
ditanya lagi- begitu montok dan
mengundang birahi. Payudaranya
jadi semakin besar karena berisi air
susu, dulu saja sudah kelihatan
membusung, apalagi sekarang. Baju
selebar dan selonggar apapun tidak
bisa menutupi kemolekannya. Setiap
mata lelaki yang memandangnya
pasti berdecak kagum, dan ujung-
ujungnya timbul keinginan untuk
menjamahnya, atau minimal
memandanginya sepuas hati. Karena
itulah, sekarang Ustazah Nur selalu
memakai jilbab lebar kalau ke
sekolah. Ia ingin mengalihkan
perhatian para lelaki, meski dalam
hati tahu kalau itu sia-sia belaka.
Dan tak cuma payudara, pinggul dan
paha Ustazah Nur juga membengkak
makin sempurna. Kalau dulu masih
agak kecil dan kerempeng, sekarang
sudah membulat begitu indah. Kalau
dia berjalan, goyangan pantatnya
sanggup membuat semua mata
lelaki berpaling, padahal sehari-hari
Ustazah Nur senantiasa
mengenakan jubah panjang dan
stoking kaki. Tak lupa juga sarung
tangan dan kain dalaman, namun
tetap saja para lelaki memandang
lapar kepada dirinya. Sebagai
seorang ustazah yang sehari-hari
mengajar pendidikan agama,
Ustazah Nur bukannya tidak tahu hal
itu. Namun segala cara sudah ia
lakukan, dan sampai sekarang
hasilnya masih minim. Ia masih
terlihat seperti ikan asin diantara
para kucing, keberadaannya terlalu
sukar untuk diabaikan.
Ia pernah mengutarakan hal ini pada
sang suami, bukannya jawaban
memuaskan yang ia terima, malah
kecupan mesra di bibir yang ia
dapat. Dan ujung-ujungnya, mereka
sama-sama tak tahan dan akhirnya
bercinta di ruang tengah, di sebelah
bayi mereka yang tidur pulas dalam
buaian. Ibu mertua yang memergoki
aksi mereka, pura-pura tidak tahu,
dan melanjutkan kegiatannya di
dapur. Menghadapi kecantikan dan
kemolekan Ustzah Nur, memang
selalu membikin suaminya lepas
kendali.
Dan begitu lepas kendalinya hingga
membuat laki-laki itu jadi tidak
tahan lama. Tahu kan artinya? Ya,
suaminya selalu keluar duluan
sebelum Ustazah Nur melenguh
puas. Sebenarnya ini tidak terlalu
dirisaukan oleh sang ibu guru muda,
karena sebagai istri yang baik, ia
harus menurut dan tidak boleh
mengecewakan sang suami. Apapun
keadaannya harus ia terima, meski
itu artinya ia tidak pernah sekalipun
mengalami orgasme selama 1 tahun
pernikahannya.
Ustazah Nur bukannya tidak
menginginkannya, kadang ia
mengharapkannya juga, bahkan
cerita-cerita dari rekan sesama guru
yang kehidupan ranjangnya begitu
panas dan menggelora, sering
membuatnya berpikir; senikmat
apakah orgasme itu? Tapi sekali
lagi, ia terlalu sungkan untuk
mengutarakan pada sang suami.
Didikan agama yang begitu ketat
membuatnya memandang tabu
pembicaraan seperti itu. Lagian,
sebagai seorang istri yang solehah,
cukup baginya melihat sang suami
melenguh puas, tak peduli dengan
dirinya sendiri yang tidak pernah
merasa nikmat.
Ya, Ustazah Nur berani berkata
seperti itu karena memang itu yang
ia alami. Sudah ejakulasi dini,
barang suaminya juga kecil lagi
pendek. Memang terasa saat
dimasukkan, tapi masih seperti ada
yang kurang. Benda itu tidak bisa
menjangkau seluruh lorong
kewanitaannya. Hanya terasa di
gerbang depan saja, itupun cuma
membentur-bentur ringan, tidak bisa
menyesaki seperti cerita Ustazah
Rina yang suaminya seorang Perwira
Polisi. Bikin Ustazah Nur jadi gatal
setengah mati. Dan saat gatalnya
perlahan memuncak, sang suami
malah sudah KO duluan. Ustazah
Nur memang tidak pernah protes, ia
bisa menerima semua itu dengan
ikhlas, namun dalam hati kecilnya
tetap terbersit keinginan untuk
dipuaskan seperti wanita pada
umumnya.
Yang lebih tragis lagi, bahkan untuk
menembus keperawanan Ustazah
Nur saat malam pertama dulu,
suaminya tidak menggunakan
penisnya. Ia tidak mampu! Laki-laki
itu menggunakan dua jari tangannya
untuk merobek selaput dara Ustazah
Nur. Kecewa pastinya, tapi apa mau
dikata. Ia sudah memilih laki-laki itu
sebagai suaminya, apapun
keadaannya harus diterima. Memang
di atas ranjang, suaminya tidak
mampu. Tapi sehari-hari, lelaki itu
itu adalah sosok yang alim lagi
bertanggung jawab. Dan itulah yang
dicari oleh Ustazah Nur, ia harus
bisa menekan hasrat birahinya demi
kebahagiaan keluarga. Itu yang lebih
penting.
Ustazah Nur masuk ke dalam klinik
yang sudah menjadi langganannya
itu. Setiap kali sakit atau ada
keluhan kesehatan, ia selalu pergi
kesana karena selain dekat dan
murah, juga karena ada beberapa
doktor muslimah yang bertugas di
sana. Ustazah Nur kurang sreg
kalau diperiksa oleh dokter lelaki,
batasan bukan muhrim membuatnya
jadi tidak leluasa berbincang dan
berkonsultasi. Beda kalau ditangani
dokter wanita, untuk suntik atau
apapun, Ustazah Nur bisa bebas
melakukannya. Kalau dengan dokter
lelaki, jangankan memamerkan
pinggulnya yang seksi, untuk tensi
darah saja ia malu setengah mati.
Setelah mengetuk pintu dan
mengucapkan salam, Ustazah Nur
masuk ke ruang periksa. Untunglah
saat itu dokter Aini yang sedang
bertugas, Ustazah Nur lega saat
melihatnya.
”Keluhannya apa, bu Ustazah?” tanya
dokter Aini ramah. Lesung pipitnya
tampak indah di bawah kacamata
bulatnya.
”Ini, dok,” Ustazah Nur pun
menceritakan keluhannya.
Dokter Aini mendengarkan dengan
seksama, setelah itu ia meminta
ustazah Nur untuk naik ke atas
tempat tidur. ”Maaf, bisa diangkat
bajunya, mau saya USG dan periksa
secara visual.” kata dokter cantik
yang usianya baru lewat 40 tahun
itu.
Ustazah Nur segera menyingkap
baju kurungnya ke atas, dan
dililitkannya ke dada. Juga
dalemannya. Dengan hanya
berstocking dan bercelana dalam, ia
berbaring di atas ranjang. Dokter
Aini memandangnya, sekilas tampak
mengagumi kemolekan dan
kesintalan tubuh Ustazah Nur. ”Bisa
dilepas juga celananya?” tanya
dokter itu.
Ustazah Nur pun melepas celana
dalamnya, tanpa malu-malu ia kini
berbaring setengah telanjang di
depan dokter Aini.
”Buka sedikit kakinya,” dokter Aini
meminta. Dengan alat semacam
pengait, ia membuka lipatan vagina
Ustazah Nur. ”Bilang kalau misalnya
ada yang sakit ya,” kata Dokter Aini
sambil mulai menekan-nekan lorong
vagina Ustazah Nur dengan alatnya.
Ustazah Nur merasakan sensasi
dingin logam menjalari dinding-
dinding vaginanya. Dokter Aini
menekan di beberapa tempat,
sampai menemukan suatu benjolan
aneh di sisi klitoris Ustazah Nur.
”Apakah sakit?” tanya sang Dokter
sambil sedikit menusuk.
”Auw! Ahh,” Ustazah Nur berjengit
dan sedikit kaget, itu sudah cukup
sebagai jawaban.
Dokter Aini melanjutkan
pemeriksaannya dengan melakukan
USG. Setelah selesai, ia
mempelajari hasilnya lalu berkata.
”Nampaknya ini sedikit serius.”
”Ada apa, dok?” tanya Ustazah Nur
pelan, takut mendengar jawabannya.
”Ustazah sudah menikah?” tanya
dokter Aini.
”Iya, sudah.” jawab Ustazah Nur.
”Anak?”
”Baru satu. Memangnya kenapa,
Dok?” tanya Ustazah Nur lagi.
”Begini, dari hasil pemeriksaan,
sebaiknya Ustazah menjalani
pemeriksaan lebih lanjut dengan
seorang doktor ahli kandungan.
Sepertinya ada masalah serius di
bagian kewanitaan Ustazah.” terang
dokter Aini.
”Ah, begitu ya, dok?” gumam
Ustazah Nur lirih.
”Tapi jangan khawatir, ini cuma
dugaan awal saja. Siapa tahu itu
cuma bisul yang salah tempat.”
dokter Aini berusaha menenangkan.
”I-iya, Dok.” resah Ustazah Nur, apa
yang ditakutkannya ternyata terjadi
juga.
”Saya tidak bisa menerangkan lebih
banyak lagi, karena itu bukan bagian
saya. Ustazah bisa bertanya nanti
pada dokter Ismi, biar dia yang
memeriksa lebih lanjut.”
Ustazah Nur mengangguk lagi.
”Ustazah silakan tunggu di depan,
nanti kami panggil.” kata dokter
Aini.
”Periksanya harus sekarang, dok?”
tanya Ustazah Nur, hari sudah siang,
ia harus mengajar ke sekolah.
”Iya, soalnya saya takut kalau
terlambat nanti jadi bahaya.” terang
dokter Aini.
”B-baik, terima kasih, dok.
Assalamu’alaikum...” Ustazah Nur
pun pamit dan melangkah keluar dari
ruang periksa dengan perasaan
bimbang. Ia segera mengirim SMS
kepada Ustazah Rina, mengabarkan
kalau hari ini ia tidak bisa masuk
karena sakit.
Kurang dari 15 menit, Ustazah Nur
dipanggil kembali. Ia disuruh masuk
ke ruang periksa oleh seorang
perawat muda yang juga berjilbab
lebar seperti dirinya. Kali ini
ruangannya agak sedikit berada di
pojok, dekat dengan ruang bersalin.
Ustazah Nur membuka pintunya dan
alangkah terkejutnya dia saat
melihat siapa yang berada di dalam.
Bukan dokter Ismi yang ia temui,
melainkan seorang dokter tua yang
usianya hampir setengah abad, dua
kali lipat dari usianya. Badan lelaki
itu kurus, tapi cukup tegap. Kulitnya
agak gelap, dengan dandanan rapi
dan sopan. Ada sedikit petak-petak
putih di rambutnya yang tersisir
rapi.
Dokter itu tersenyum dan menyuruh
Ustazah Nur untuk masuk, ”Silakan
duduk, Ustazah.” Dia terlihat cukup
sopan. Dr. Pramudya, begitu tulisan
yang tertera di nametag-nya.
Ustazah Nur balas tersenyum dan
segera menempatkan diri di depan
dokter tua itu. Perasaannya sungguh
tak karuan. Dimana dokter Ismi?
Apakah dia harus diperiksa oleh
dokter laki-laki ini? Ustazah Nur
tentu sangat keberatan. Tapi
sebelum dia sempat memprotes,
dokter Pram sudah keburu berkata,
”Maaf, Ustazah, dari hasil laporan
pendahuluan yang saya terima dari
dokter Aini, saya menduga ini adalah
sejenis virus atau bibit kanker.
Untuk memastikannya, saya harus
melakukan pemeriksaan lanjutan
pada diri Ustazah.” kata dokter
Pram.
Ustazah Nur terhenyak, apa yang
selama ini berusaha ia hindari,
ternyata terjadi juga. Ia akan
’dijamah’ oleh dokter lelaki. Untuk
menenangkan gejolak di hatinya,
Ustazah Nur menarik nafas panjang
dan kemudian bertanya, ”Kalau boleh
tahu, kemana dokter Ismi? Menurut
dokter Aini, dokter Ismi lah yang
harusnya menangani saya.”
Dokter Pram tersenyum, ”Dokter
Ismi mendapat telepon mendadak
dari keluarganya, salah satu
anaknya terlibat kecelakaan di luar
kota. Saya terpaksa datang untuk
menggantikannya.”
”Ehm, begitu ya. A-apakah tidak ada
dokter yang lain, yang wanita
maksud saya.” kata Ustazah Nur
terbata-bata.
Dokter Pram tertawa, ”Jangan takut,
Ustazah. Saya tidak akan berbuat
macam-macam pada Ustazah. Saya
sudah berkerja puluhan tahun, sudah
tidak terhitung jumlah pasien yang
saya tangani. Semuanya tidak ada
masalah, saya akan perlakukan
Ustazah seperti saya
memperlakukan mereka. Saya
terikat sumpah kalau sampai berbuat
buruk pada Ustazah.”
Ustazah Nur menunduk, ia jadi tidak
punya argumen lagi untuk menolak.
”Bagaimana, Ustazah, bisa kita
mulai sekarang?” tanya dokter Pram
melihat Ustazah Nur yang terdiam
membisu.
”I-iya, Dok. Tapi sebelumnya, kalau
boleh tahu, pemeriksaan macam apa
yang akan dokter lakukan?” tanya
Ustazah Nur malu-malu.
”Pap smear dan VE. Dengan begitu
saya bisa memastikan jenis
benjolan yang ada di kewanitaan
Ustazah.” jelas dokter Pram.
”Sekarang, silakan Ustazah
berbaring di situ,” laki-laki itu
menunjuk kasur yang ada di pojok
ruangan. Perawat berjilbab yang
sejak tadi menyiapkan segala
sesuatu, sekarang berbalik pergi
meninggalkan ruangan, menyisakan
dokter Pram dan Ustazah Nur hanya
berdua di tempat yang sepi itu.
Jantung Ustazah Nur berdegup
kencang, dia teringat berbagai cerita
mengenai pap smear dari rekan-
rekannya. Kebanyakan kisah mereka
sungguh menakutkan karena harus
memamerkan mahkota yang paling
berharga kepada lelaki yang bukan
muhrim, padahal sepatutnya hanya
kepada suami sajalah mereka boleh
memperlihatkan pemandangan indah
itu. Dalam hati, Ustazah Nur ingin
menolak, namun dia bingung juga
akan keadaan dirinya, apalagi
mengingat kata-kata dokter Pram
barusan. Ia terancam terkena kanker
rahim! Oh, sungguh sangat
menakutkan.
Dan ketakutan ternyata bisa
meruntuhkan akal sehatnya, terbukti
saat dokter Pram berkata, ”Silakan
Ustazah letakkan kedua kaki di atas
sini,” Ustazah Nur sama sekali tidak
bisa menolak. Bayangan akan
ancaman kanker rahim membuatnya
menurut dengan cepat.
Dokter Pram menunjuk dua
penyangga yang ada di ujung
ranjang, saat Ustazah Nur
meletakkan kedua kakinya disana,
posisinya sekarang jadi seperti
mengangkang. Kedua pahanya
terbuka lebar, sementara
kemaluannya terekspos bebas, siap
menerima tatapan dokter Pram yang
akan menghujam sebentar lagi.
Laki-laki itu berdiri di ujung ranjang,
tepat di tengah-tengah celah kaki
Ustazah Nur. Tampak sebagian paha
Ustazah Nur sedikit terbuka, juga
selangkangan perempuan cantik itu
yang tampak menggembung indah.
Dokter Pram menatap nanar kesana,
seperti tengah menyantap dan
menikmati betapa mulus dan
mempesonanya aurat Ustazah Nur.
Ustazah Nur sendiri bukannya tak
sadar diperhatikan seperti itu,
namun apa daya, ia tidak bisa
melakukan apapun untuk mencegah
semua itu. Sama sekali tidak ada!
Yang bisa ia lakukan sekarang cuma
duduk terdiam pasrah sambil
berharap pemeriksaan itu
berlangsung cepat sehingga rasa
malu yang menggumpal di hatinya
tidak bertambah menjadi lebih besar
lagi.
”Maaf, Ustazah.” Dokter Pram
menarik jubah terusan panjang
warna hijau muda bercorak bunga
yang dikenakan Ustazah Nur ke atas,
kain daleman warna putih yang
dipakainya turut disingkap ke atas
sampai ke batas pinggang, membuat
sebagian paha dan celana dalam si
ustazah terlihat jelas. Ustazah alim
ini memakai stoking putih panjang
hingga ke ujung lututnya, meski
begitu, separuh tubuhnya sudah
telanjang sekarang. Memang dia
masih memakai baju dan jilbab lebar
untuk menutupi tonjolan buah
dadanya yang membusung indah,
tapi bagian bawah tubuhnya -yang
merupakan bagian paling intim-
justru terbuka lebar.
Dokter Pram menelan ludah, dia
memang beruntung. Meski sudah
banyak melihat berbagai bentuk dan
rupa kemaluan wanita, namun milik
Ustazah Nur ini tampak sangat
spesial. Masih tertutup celana dalam
saja sudah terlihat begini indah,
apalagi kalau dibuka.
Membayangkannya membuat penis
sang dokter yang sudah lama tidak
terbangun, jadi menggeliat lagi.
Ditambah kulit paha Ustazah Nur
yang begitu putih dan mulus, jadilah
dokter Pram menyeringai mesum
karenanya.
”Maaf ya, Ustazah, ininya saya
buka,” kata dokter tua itu sambil
menyingkap sedikit celana dalam
Ustazah Nur hingga celah
kemaluannya terlihat jelas. Tampak
begitu indah dan sempurna. Meski
baru saja dipakai untuk melahirkan,
benda itu tetap terlihat imut dan
lucu, begitu sempit dan mungil,
tampak tidak melar sama sekali.
Pasti rasanya masih sangat
menggigit. Dengan warna merah
kecoklatan, dan rambut yang
tercukur rapi tumbuh di bagian
atasnya, jadilah kemaluan itu begitu
mantab dan mempesona.
Ustazah Nur bukannya ikhlas
diperhatikan seperti itu, tapi mau
bagaimana lagi, mau mundur
sekarang juga percuma, dokter Pram
sudah terlanjur menatap
kemaluannya. Ia sebenarnya malu
bukan main, air mata mulai menetes
di sudut kelopaknya, tapi apa yang
bisa ia lakukan? Ini prosuder normal,
hanya dengan begini dokter Pram
bisa mendiagnosis penyakitnya,
meski itu artinya ia harus merelakan
dokter tua itu mengutak-atik
kemaluannya. Ustazah Nur
menghela nafas, demi kesembuhan,
tampaknya ia harus rela melakukan
itu.
”Maaf, Ustazah,” sekali lagi dokter
Pram meminta maaf. Tanpa
memperhatikan ekspresi Ustazah
Nur yang malu dan takut, ia
mengambil krim dari salah satu tube
yang tertata rapi di meja dan
mengoleskan ke telapak tangannya.
Ustazah Nur memperhatikan dengan
seksama saat dokter Pram
meratakan krim itu ke permukaan
kemaluannya.
”Agar Ustazah nyaman dan tidak
sakit.” kata dokter tua itu sambil
tangannya terus bergerak. Ustazah
Nur bergidik, baru kali ini ada lelaki
lain yang memegang kemaluannya,
dan bukan cuma memegang, tapi
sudah memijit dan menggesek-
gesek meski sama sekali tidak
terlihat punya niat buruk. Jari-jari
dokter Pram bergerak dengan
ringan, membelai bibir kemaluan
Ustazah Nur, berusaha meratakan
krim di tangannya sesempurna
mungkin.
Vagina Ustazah Nur jadi terlihat licin
dan mengkilap sekarang. Tadi saja
sudah terlihat begitu indah, apalagi
sekarang. Dokter Pram yang sering
melihat kemaluan wanita saja,
sempat berhenti sebentar karena
saking terpesonanya. Sekilas ia
menatap kemaluan Ustazah Nur
tanpa berkedip, memperhatikan saat
benda itu berkedut-kedut ringan
seiiring nafas Ustazah Nur yang
semakin cepat karena saking
malunya. Ingin ia melihat lebih lama
lagi, namun janji sumpah setianya
sebagai dokter melarang hal itu.
Maka sambil sedikit bergidik, dokter
Pram menarik pandangannya.
”Hah,” Ustazah Nur menghela nafas
lega, namun itu cuma sementara,
karena selanjutnya sang dokter
sudah bersiap untuk langkah
berikutnya.
”Ustazah tidak apa-apa? Saya akan
memulai pemeriksaan,” kata dokter
Pram sambil mulai menutul dan
menguak-nguak lubang kelamin
Ustazah Nur dengan ujung jarinya.
Ustazah Nur yang tidak diberi
kesempatan untuk bernafas, kontan
mengeluh karenanya. Namun
sepertinya dokter Pram tidak
mengetahui, atau tidak peduli?
Entahlah, yang pasti, laki-laki itu
terus memegang dan memeriksa alat
kelamin Ustazah Nur. Dengan jari-
jari tangannya yang panjang dan
keriput, dia terus mengelus dan
memijitinya. Ditelusurinya vagina
cantik Ustazah Nur tanpa berkedip,
tiap bagiannya ia perhatikan dengan
teliti. Air cinta Ustazah Nur yang
mulai mengalir keluar diusapnya
dengan hati-hati agar tidak
menghalangi pandangan. Dokter
Pram sepertinya jenis orang yang
teliti.
”Hmm, sepertinya semua baik-baik
saja,” kata laki-laki tua itu,
tangannya terus bermain di
permukaan kewanitaan Ustazah Nur.
Sang ibu guru muda yang
diperlakukan seperti itu, sebenarnya
ingin protes, namun tidak berani.
Siapa tahu ini benar-benar prosedur
normal, bukan seperti kata hatinya,
yang merasa kalau jari-jari tangan
dokter Pram seperti merangsang
dirinya! Sama seperti yang biasa
dilakukan suaminya ketika merayu
untuk mengajak bercinta. Akibatnya,
cairan kewanitaan Ustazah Nur jadi
meleleh deras sekarang. Semakin
lama menjadi semakin banyak.
Karena malu, ia pun menguatkan diri
untuk melayangkan protes. Ustazah
Nur tidak ingin digoda lebih lama
lagi. Sudah tahu kalau
kewanitaannya baik-baik saja,
kenapa masih dipegangi juga?
”Ehm, dok... a-apa nggak sebaiknya
pake s-sarung tangan? B-
bersalaman aja k-kita tidak boleh,
a-apalagi bersentuhan s-seperti
ini!” sergah Ustazah Nur dengan
nafas panjang pendek. Wajah
cantiknya sudah memerah karena
malu.
Dokter Pram menoleh dan
tersenyum bijak, ”Sarung tangan
cuma membatasi feeling saya,
Ustazah. Begini lebih baik, hasil
diagnosanya bisa lebih akurat.” kata
laki-laki tua itu.
”T-tapi... saya masih keberatan,”
Ustazah Nur mengeluh, ia berusaha
keras melawan rangsangan yang
datang... karena sambil berbincang,
tangan dokter Pram terus memegang
dan memijit-mijit kemaluannya.
”Ustazah tenang saja, biar saya yang
menanggung dosanya. Yang penting
Ustazah cepat sembuh.” doktor
Pram menggunakan dua jarinya
untuk menguak lubang kemaluan
Ustazah Nur. Kalau tadi cuma
permukaannya yang terlihat -yang
mana itu sudah membuat Ustazah
Nur malu bukan main-sekarang
seluruh lorong dan celah kewanitaan
sang Ustazah terlihat jelas.
Sungguh indah bukan main. Warna
dan lipatannya yang masih tampak
sempurna sanggup membuat dokter
Pram terdiam. Lagi-lagi pria itu
terpesona, bagaimana bisa wanita
alim seperti Ustazah Nur yang
jarang merawat tubuh bisa memiliki
alat kelamin sebagus ini. Sungguh
suatu anugrah dari yang kuasa.
Mungkin ini yang namanya karunia,
kalau tidak mau dikatakan mukjizat.
”Ahh, dok...” kembali Ustazah Nur
membuka suara, mencoba untuk
memprotes. ”K-katanya baik-baik
saja, k-kenapa masih diteruskan?”
tanyanya dengan suara berat.
”Tadi cuma bagian luar saja, yang
dalam kan belum saya periksa.”
kilah dokter Pram. Dengan satu jari
ia mengorek kemaluan Ustazah Nur.
Tak dinyana, Ustazah Nur yang
sejak tadi sudah matian-matian
berusaha menahan diri, tiba-tiba
saja berteriak kencang. ”Dok, auw!”
jeritnya parau.
Doktor Pram sempat terkejut, namun
selanjutnya tersenyum penuh
pengertian. ”Kenapa, Ustazah?
Sepertinya saya tidak menyentuh
bagian yang sakit.”
”Ah, s-saya...”
Belum selesai Ustazah Nur
menjawab, dokter Pram sudah cepat
memotong, ”Jangan bilang kalau jari
saya lebih besar dari kemaluan
suami Ustazah,”
Ustazah Nur terdiam, matanya
melotot, sementara mulutnya komat-
kamit ingin membalas kekurang-
ajaran dokter tua itu, namun ia tidak
bisa mengeluarkan suara karena apa
yang dikatakan oleh dokter Pram
memang benar adanya. Memang
tidak lebih kecil sih, tapi ukuran
penis suaminya sama dengan jari
dokter Pram (Menyedihkan bukan?)
itulah kenapa ia menjerit, saat dokter
Pram memasukkan jarinya, Ustazah
Nur jadi merasa seperti disetubuhi.
Melihat keterpanaan Ustazah Nur,
doktor Pram tersenyum nakal dan
meneruskan aksinya. Tangannya
kembali mengorek-ngorek vagina
Ustazah Nur, sementara mulutnya
berbisik, ”Punya saya lima kali lebih
besar dari ini lho,”
”Hah,” Ustazah Nur mendelik marah,
sama sekali tidak menyangka kalau
dokter tua yang kelihatan sopan itu
kini menggodanya. ”Dokter jangan
macam-macam ya, saya...”
”Kenapa, Ustazah ingin melihatnya?”
tantang dokter Pram dengan lebih
berani. Ia nekad berbuat seperti itu
karena meski melihat Ustazah Nur
marah, tapi wanita itu seperti terlihat
pasrah. Hanya mulut dan matanya
yang memprotes, sementara gerak-
gerik dan isyarat tubuhnya
menunjukkan hal yang sebaliknya.
”Bukan!” Ustazah Nur menggeleng
cepat, ”Mana mungkin ada yang
punya barang sebesar itu,” ujarnya
kemudian dengan muka menunduk
menahan malu, entah kenapa ia bisa
berkata seperti ini, padahal biasanya
ia paling anti berkata jorok.
”Haha,” dokter Pram tertawa,
tangannya terus bergerak membelai
kemaluan sang Ustazah cantik
dengan mesra. Benda itu sudah
sangat membanjir sekarang.
”Ustazah mau bukti?” tanyanya
menggoda.
Ustazah Nur terdiam, tubuh
sintalnya menggeliat, namun tidak
bisa melepaskan diri dari kekangan
penyangga yang menahan kakinya.
Usahanya memang tidak terlalu
keras, karena meski ia tidak
menginginkannya, perbuatan dokter
Pram sanggup memancing gairahnya
secara perlahan. Itu yang
membuatnya jadi sedikit pasrah.
”Dari tadi, benda ini bikin saya
penasaran,” kata dokter Pram sambil
menekan pelan kelentit Ustazah Nur.
”Auw!” seperti tadi, kali ini
perempuan cantik itu juga berteriak
kesakitan.
”Aha, sepertinya kita menemukan
letak penyakit Ustazah.” kata dokter
Pram pura-pura gembira. Tangannya
bergerak mengusap pelan kelentit
Ustazah Nur, mencoba menaksir apa
kiranya benjolan merah yang terasa
kaku itu.
”I-iya, dok... i-itu yang sakit.” sahut
Ustazah Nur dengan terengah-
engah. Bukan saja karena kaget, tapi
juga karena rangsangan birahi yang
mulai menguasai tubuh sintalnya.
Bagaimana tidak? Sambil mengusap
kelentit, salah satu jari dokter Pram
terus menjejalahi lubang
kemaluannya. Laki-laki itu seperti
merangsangnya. Misalkan ditambah
jilatan, lengkaplah sudah ritual
mesum itu.
”Ini cuma benjolan biasa, tapi untuk
memastikannya, kita harus
melakukan tes lain.” kata dokter
Pram.
”T-tes apa, d-dok?” tanya Ustazah
Nur dengan sedikit berbisik, ia mulai
tidak bisa berpikir jernih. Tebalnya
iman yang biasanya ia bangga-
banggakan, perlahan terhapus oleh
bayangan penis sang dokter yang
katanya lima kali lipat besarnya.
Kalau pakai jari saja sudah begini
enak, gimana kalau pakai penis
sungguhan? Ah, Ustazah Nur
mengutuk dirinya sendiri.
Bagaimana ia bisa berpikir seperti
itu. Mencoba mengusir bayangan
mesumnya, ia pun menarik nafas
panjang.
”Ustazah lelah?” tanya dokter Pram
yang melihat Ustazah Nur menghela
nafas.
”Ah, t-tidak. Saya cuma pingin
rileks,” Ustazah Nur melemaskan
lagi tubuhnya yang tadi sempat
tegang. Dengan dokter Pram yang
menarik jarinya dan sekarang
berdiri di sampingnya, ia jadi bisa
melakukan itu.
”Maaf tadi saya berlaku kurang ajar.
Habisnya, tubuh Ustazah begitu
indah. Baru kali ini saya dapat
pasien yang sanggup bikin saya
lepas kendali.” kata dokter Pram
dengan sangat terus terang.
”Emm, tidak apa-apa, dok. Saya
juga minta maaf, saya bisa mengerti
kok.” Ustazah Nur melirik
selangkangan sang dokter yang kini
tepat berada di sudut matanya,
tampak benda itu sudah sangat
menggembung, besar sekali. Apapun
sesuatu yang ada di dalamnya, kini
sudah terbangun dan menggeliat,
menampakkan keperkasaannya.
Tanpa sadar, Ustazah Nur menelan
ludahnya. Bayangan penis yang
besarnya lima kali lipat dari milik
sang suami kembali menggoda
pikirannya.
”Saya ingin tahu reaksi tubuh
Ustazah. Bukankah tadi ustazah
bilang kalau perut bagian bawah
yang sakit? Benjolan itu seharusnya
tidak menghasilkan efek seperti itu.
Saya takut ini karena sebab lain.”
kata dokter Pram.
”M-maksud dokter g-gimana?” tanya
Ustazah Nur dengan terbata-bata.
Matanya tetap melirik selangkangan
si dokter tua.
”Saya ingin mengecek tubuh
Ustazah secara keseluruhan.” kata
dokter Pram.
”S-saya harus check-up lengkap,
gitu?” tanya Ustazah Nur tak
mengerti.
Dokter Pram tertawa, “Iya, tapi itu
nanti. Untuk sekarang, saya ingin
melakukan pemeriksaan secara
visual. Seperti yang saya lakukan
pada kewanitaan ustazah.”
Ustazah Nur terhenyak, tak tahu
harus berkata apa. Dokter Pram
ingin melihat seluruh tubuhnya! Apa
ia tidak salah dengar? Diperiksa di
bagian kemaluan saja sudah
membuatnya malu setengah mati,
sekarang malah dokter itu ingin
melihat seluruh tubuhnya. Ini sudah
tidak benar. Ia harus menolak.
Seberapapun kuat gairah yang sudah
menguasai tubuh sintalnya, Ustazah
Nur mencoba untuk melawan.
Harkat dirinya sebagai seorang
wanita terhormat yang taat
menjalankan ajaran agama sedang
dipertaruhkan, dan ia tidak ingin
kalah.
“M-maaf, dok. Sepertinya s-saya
tidak bisa melakukan itu.” kata
Ustazah Nur pada akhirnya. Inilah
kalimat paling benar yang ia ucapkan
selama 10 menit terakhir.
Dokter Pram menoleh. ”Kenapa,
Ustazah malu?” tanyanya.
”Bukan hanya malu, ini memang
tidak boleh.” kata Ustazah Nur
tegas.
”Lalu bagaimana saya harus
memeriksa Ustazah?” tanya dokter
Pram, mulai terlihat tidak sabar.
”Tidak usah, cukup obati benjolan
yang ada di kewanitaan saya saja.”
dan ngomong soal kewanitaan,
Ustazah Nur jadi teringat pada
lubang vaginanya yang sampai saat
ini masih terbuka lebar bagi sang
dokter. ”Dan tolong, tutupi milik
saya.” pintanya dengan muka jengah
antara malu dan jengkel.
Dokter Pram mengangguk dan
tersenyum, sedikit meminta maaf.
”Ah, iya. Maaf.” segera ia
menurunkan kembali celana dalam
Ustazah Nur. Saat mengatur
letaknya, jarinya sedikit menggesek,
seperti sengaja menyentil kelentit
sang ustazah untuk yang terakhir
kali.
Sedikit berjengit, namun tidak bisa
marah, Ustazah Nur menghela nafas
lega. Untunglah, ia bisa lolos dari
awal perbuatan zina.
Namun dokter Pram yang sudah
mulai tergoda, tentu saja tidak akan
melepaskan mangsanya begitu
mudah. Apalagi di saat yang sama,
Ustazah Nur yang akan menurunkan
kaki dari topangan, tiba-tiba
mengeluh kesakitan.
”Auw! Aduh! Aduduh! Dok... sakit!”
kata perempuan cantik itu sambil
memegangi bagian bawah perutnya.
”Kenapa, ustazah?” tanya dokter
Pram dengan kaget. Cepat ia
bereaksi, dielusnya pinggul Ustazah
Nur dengan maksud untuk
meredakan rasa sakitnya.
Ustazah Nur yang tengah merintih-
rintih, sama sekali tidak
menghiraukan saat tangan sang
dokter kembali menjamah
kemaluannya.
”Mana yang sakit?” tanya dokter
Pram sambil terus memijit-mijit
pelan, kembali disingkapnya celana
dalam Ustazah Nur hingga kemaluan
wanita cantik itu terlihat jelas.
Benjolan yang ada di kelentitnya
tampak menonjol memerah. Dokter
Pram segera menekannya. Tidak
ada reaksi dari Ustazah Nur,
sepertinya penyebab sakitnya bukan
dari benda mungil itu.
”Arghhh... dok, sakit!” pekik
Ustazah Nur sekali lagi, tubuhnya
makin kuat menggelinjang.
Sementara keringat dingin mulai
keluar dari sela jilbabnya.
Dokter Pram mengangguk, ”Cepat
buka baju Ustazah, biar saya
periksa.”
Ustazah Nur tidak dapat lagi
menolak. Rasa seperti ditusuk dan
dipelintir-pelintir terus merajam
bagian bawah perutnya.
Membuatnya jadi benar-benar tak
tahan. Maka, sambil meringis
kesakitan, ia pun merelakan saat
tangan kurus dokter Pram membantu
mencopoti kancing bajunya.
”M-maaf, Ustazah.” kata dokter tua
itu saat tangannya dengan tidak
sengaja menyenggol tonjolan buah
dada Ustazah Nur.
Tidak menjawab, Ustazah Nur
menyingkap baju panjang dan
daleman yang ia kenakan. Jadilah,
dengan perasaan sangat malu
namun kesakitan, ia berbaring
hampir telanjang di depan dokter
Pram. Hanya jilbab lebar dan beha
putih susu yang masih tersisa di
tubuh sintalnya. Yang lain sudah
terlepas begitu mudah. Memang
masih ada celana dalam, tapi benda
itu seperti jadi penghias saja karena
sudah tersingkap dari tadi,
memperlihatkan lubang kemaluan
Ustazah Nur yang sudah basah dan
memerah.
Dokter Pram memandangi sejenak
tubuh montok Ustazah Nur yang
masih menggeliat-geliat menahan
sakit. Ia perhatikan bahu ibu muda
itu yang ternyata begitu bersih, putih
sekali, dengan lekuk tubuh yang
masih menampakkan keindahan
meski baru saja melahirkan. Bulatan
payudaranya tampak begitu
menggoda, sangat besar sekali.
Sisi-sisinya yang padat dan putih
mulus terlihat jelas karena beha
yang dikenakan Ustazah Nur
ternyata kekecilan.
Ustazah Nur berusaha
membenahinya dengan
mendekapkan tangan di bagian
atasnya, berharap bisa menghalangi
pandangan sang dokter dari tonjolan
buah dadanya. ”Dok, s-sakit!” ia
mengingatkan laki-laki tua itu saat
melihat dokter Pram cuma diam saja
tanpa bertindak apa-apa.
”Ah... eh, iya. Maaf.” tersadar dari
lamunan, cepat dokter Pram
memegangi tubuh Ustazah Nur.
Dimulai dari bagian bawah perut.
”Katakan kalau sakit,” perintahnya.
Ustazah Nur mengangguk. Bisa
dirasakannya tangan sang dokter
yang tengah meraba lembut kulit
selangkangannya. Dilanjutkan naik
ke atas menuju bukit kemaluannya.
Dokter Pram seperti meraba-raba
rambut kemaluannya sebelum
tangannya terus naik menuju ke
bagian bawah pusar. Disini dokter
Pram menekan sedikit, membuat
Ustazah Nur sedikit berjengit namun
tidak berteriak kesakitan.
”Nggak sakit?” tanya dokter tua itu
melihat pasiennya yang cuma
terdiam.
Ustazah Nur menggeleng. Wajahnya
memerah karena merasakan usapan
tangan dokter Pram yang seperti
menggelitik lubang pusarnya.
Namun itu cuma sesaat, karena
dokter itu sudah keburu melanjutkan
rabaannya. Kali ini makin ke atas.
Setelah memenceti sisi perut
Ustazah Nur yang ternyata tidak
berefek apa-apa, dokter Pram
menggerakkan jari-jarinya ke
pangkal dada Ustazah Nur yang
masih tertutup bh.
”Maaf ya, Ustazah. Boleh saya...” ia
meminta ijin untuk memegangi
payudara Ustazah Nur.
Tidak menjawab, Ustazah Nur
mengalihkan pandangannya ke
samping. Tidak sanggup untuk
melihat saat dokter Pram ingin
menjamah bagian penting dari
kewanitaannya. Kalau saja tidak
sedang dalam kondisi genting dan
kesakitan, tentu ia tidak akan
mengijinkannya.
Merasa mendapat restu, dokter Pram
pun mengulurkan tangan. Pelan ia
taruh jari-jarinya di atas gundukan
payudara Ustazah Nur yang sebelah
kiri. Ditekannya pelan dengan
selembut mungkin. Saat melihat
tidak ada reaksi, ia memindahkan
tangannya sedikit lebih ke samping.
Kembali ditekannya pelan. Begitu
terus hingga seluruh bagian
payudara Ustazah Nur yang besar
dan mengkal itu berhasil ia jelajahi.
Rasanya sungguh nikmat dan
empuk. Meski masih tertutup bh,
tetapi tetap tidak bisa
menghilangkan keindahannya.
Keringat dingin mulai keluar dari
dahi sang dokter saat ia terus
bekerja. Kali ini giliran yang sebelah
kanan yang ia garap. Sama seperti
tadi, ia juga memencetinya bagian
demi bagian hingga terjamah
seluruhnya. Rintihan halus mulai
terdengar dari mulut manis Ustazah
Nur. Wanita itu memejamkan kedua
matanya rapat-rapat sambil
menggigit bibir bawahnya kuat-kuat
untuk meredam teriakan.
Dokter Pram tersenyum, rupanya
bukan dia saja yang tengah
bergairah. Menyeringai senang,
iapun terus menggerakkan
tangannya. Kini dengan dua tangan
ia pegangi buah dada Ustazah Nur.
Satu tangan untuk satu gundukan.
Orang bodohpun tahu, posisi itu
adalah posisi laki-laki yang sedang
merangsang seorang wanita. Bukan
seorang dokter yang tengah
memeriksa pasiennya.
”Ehm... dok!” Ustazah Nur merintih,
tubuh mulusnya menggeliat. Tapi
bukan karena sakit, justru karena
merasa nikmat oleh pijitan sang
dokter.
”Tahan, Ustazah. Sebentar lagi
selesai.” lirih dokter Pram.
Tangannya terus bergerak
meremas-remas tumpukan daging
kenyal di dada Ustazah Nur yang
membusung indah. Ia sudah tidak
lagi gemetar seperti tadi, kini sudah
sangat mantab dan berani. Apalagi
saat dilihatnya Ustazah Nur sama
sekali tidak menolak, malah
cenderung menikmatinya.
Dengan batang penis yang kian
mendesak celana panjangnya, dokter
Pram menepuk bahu Ustazah Nur.
”S-sudah, Ustazah.” panggilnya
mencoba menyadarkan Ustazah Nur.
Wanita itu membuka sedikit bola
matanya. “Ah, i-iya.”
”Tidak ada yang salah dengan tubuh
Ustazah, semuanya normal dan
baik-baik saja.” kata dokter Pram
sambil matanya tak berkedip
menatap busungan dada Ustazah Nur
yang bergerak turun naik di depan
hidungnya.
”Ah, s-syukurlah kalau b-begitu.”
sahut Ustazah Nur lirih. Rasa sakit
di bawah perutnya memang sudah
hilang sekarang.
”Tapi saya curiga ini karena
kesalahan saya,” sambung dokter
Pram.
”Kesalahan dokter? Maksudnya?”
tanya Ustazah Nur tak mengerti.
”Mungkin saya kurang teliti dalam
memeriksa, jadi penyakit Ustazah
terlewat dari pengamatan saya.”
jelas dokter Pram.
Ustazah Nur berusaha mencerna
kata-kata itu. Lalu, ”Ehm, jadi...
dokter mau melakukan pemeriksaan
ulang, gitu?” tanyanya.
Dokter Pram mengangguk, ”Dengan
ustazah melepas bh ini,” jarinya
menunjuk beha putih susu yang
masih bertengger di atas gundukan
payudara ustazah Nur. ”Saya harus
memegangnya langsung, kulit
bertemu kulit. Dengan begitu, saya
bisa memastikannya dengan lebih
teliti.” tambahnya sebelum Ustazah
Nur sempat membantah.
Ibu guru berjilbab itu kembali
terdiam, berat sekali rasanya
menanggung semua ini. Sebelum
kesini tadi, ia sama sekali tidak
menyangka kalau akan disuruh
telanjang. Tapi sekarang?
Ah, namun penyakitnya sangat perlu
untuk diobati. Rasanya sakit sekali
kalau lagi kambuh. Lebih baik ia
telanjang daripada merasakannya
lagi. Bisa-bisa ia pingsan kalau rasa
sakit itu datang lagi.
Maka, sambil menghela nafas
panjang, Ustazah Nur pun berucap.
”Bagaimana kalau tangan dokter
masuk ke dalam. Saya malu kalau
harus melepasnya, malu sekali!”
bisiknya.
Dokter Pram mengangguk, ”Begitu
juga bisa,”
Selesai berkata, dengan tangan
bergetar, dokter tua itupun
menjamah payudara Ustazah Nur.
Jari-jarinya menyusup masuk ke
balik cup bh sang ibu muda.
”Ahh...” Ustazah Nur melenguh saat
merasakan jari-jari sang dokter
yang mulai melingkupi tonjolan buah
dadanya. Dokter itu mengusap-usap
pelan seluruh permukaannya yang
halus dan mulus, terutama
putingnya, beberapa kali jari dokter
Pram seperti sengaja menjepit dan
memilinnya, membuat butiran
keringat mulai bermuncul di dahi
Ustazah Nur yang masih tertutup
jilbab.
Dokter Pram tersenyum
menyaksikan betapa nafas
pasiennya yang cantik ini mulai
sedikit tidak teratur. Ia terus memijit
dan meremas-remas, merasakan
betapa payudara Ustazah Nur begitu
licin dan empuk dalam genggaman
tangannya. Pesona benda itu begitu
luar biasa hingga membuat dokter
Pram jadi ikut kesulitan untuk
mengatur nafas.
”Dok...” tegur Ustazah Nur dengan
suara nyaris berbisik.
”Shh... tenang, Ustazah.” desis
dokter Pram untuk menenangkan.
”Saya masih belum selesai,”
ucapnya dengan tangan terus
bergerak. Dari yang kiri, selanjutnya
berpindah ke yang kanan. Ia terus
meremas-remas payudara Ustazah
Nur yang bulat besar dengan penuh
kelembutan. Dari degup jantung dan
deru nafas sang dokter yang kian
memacu, sudah bisa ditebak betapa
luar biasanya rasa bulatan kembar
itu.
”Dok...” Ustazah Nur kembali
berbisik, ia memegang kedua
pergelangan tangan sang dokter,
berusaha sedikit menarik dari
permukaan buah dadanya.
Tapi dokter Pram yang sudah
terlanjur enak, tentu saja tidak mau
berhenti begitu saja. ”Tahan, tinggal
sedikit lagi.” sahutnya sambil terus
mempertahankan remasan
tangannya.
Ustazah Nur terdiam, ia sudah tidak
bisa lagi memprotes. Malah yang
ada sekarang, bulu kuduknya mulai
meremang. Lalu tubuhnya yang
sintal jadi sedikit agak gemetar,
dengan diiringi deru nafas yang
mulai tidak beraturan. Sepertinya ia
sudah mulai kehilangan kendali.
Habisnya, siapa juga yang tahan
diremas-remas seperti itu. Wanita
manapun pasti takluk, tak peduli
seberapa hebat imannya.
Cup beha Ustazah Nur mulai tertarik
ke atas secara perlahan-lahan,
menampakkan gundukan daging
kenyal yang ada di dalamnya, yang
tengah ditampung oleh dokter Pram
ke dalam genggaman tangannya.
”Dok, jangan...” lirih Ustazah Nur
saat melihat dokter tua itu mulai
menunduk untuk menciumnya.
Tapi dokter Pram yang pertahanan
moralnya sudah tumbang, cepat
menindihnya. Ustazah Nur berusaha
untuk melawan dengan mencoba
mendorong tubuh laki-laki tua,
namun apalah arti tenaga seorang
wanita dibanding pria yang tengah
terbakar nafsu. Dengan mudah
dokter Pram bisa meringkusnya.
”Dok... jangan, ini tidak boleh...
mmmff!!” ucapan Ustazah Nur
terhenti ketika dokter Pram
menyumpal paksa mulutnya dengan
ciuman. Laki-laki itu mencucup dan
melumatnya penuh nafsu sambil
tangannya terus bergerak meremas-
remas bukit kenyal di dada Ustazah
Nur.
”Mmmf... Dok, mmmhh!” tangan
Ustazah Nur terus meronta, namun
dokter Pram cepat menangkap dan
merentangkannya ke atas, membuat
perempuan cantik itu jadi benar-
benar tidak berdaya sekarang.
Kembali dokter Pram melumat
bibirnya, ia menahan pergelangan
tangan Ustazah Nur dengan satu
tangan karena sebelah tangannya
sibuk berupaya melepas ikatan
celana panjang yang ia pakai.
Ustazah Nur mulai menangis terisak,
tubuhnya menggeliat-geliat,
berusaha melakukan perlawanan
untuk yang terakhir kali. Namun itu
justru menciptakan pemandangan
sensual yang makin membangkitkan
birahi sang dokter tua. Mata Ustazah
Nur membelalak dan kian panik
ketika dengan paksa dokter Pram
merenggut celana dalamnya.
”Dok, jangan!” Ustazah Nur sama
sekali tidak bisa melawan. Kakinya
yang tertahan di kaki ranjang tidak
bisa dirapatkan. Akibatnya, batang
penis sang dokter yang sudah
ngaceng berat -yang ukurannya lima
kali lipat dari penis sang suami-
tepat berada di antara kedua
pahanya, mencari-cari lubang
kemaluannya untuk dimasuki.
”Ahh, Dok!” rintih Ustazah Nur saat
merasakan tumbukan benda itu di
bibir alat kelaminnya, dan terus
berusaha mendorong masuk hingga
menemukan celahnya, yang
ternyata... telah begitu basah.
Dokter Pram tersenyum, ”Tahan,
Ustazah. Akan saya masukkan
sekarang. Ustazah pasti akan
menyukainya.” bisik laki-laki tua itu
sambil mulai mendesakkan pinggul.
”Ahh...” ia melenguh saat merasakan
jepitan kemaluan Ustazah Nur yang
ternyata lebih sempit dari rongga
vagina Mia, perawat yang tadi
membantunya, yang sudah sering ia
tiduri saat sedang bertugas.
”Ugh,” Ustazah Nur hanya bisa
meringis pasrah, air mata terus
mengalir menemani isakan masih
yang keluar dari mulutnya.
”Maafkan saya, Ustazah... tubuh
Ustazah begitu menggoda, bukan
salah saya kalau jadi nggak tahan
seperti ini.” ujar dokter Pram sambil
berusaha mengayun-ayunkan
pinggulnya.
”Hah, hah,” Ustazah Nur hanya bisa
terisak dan menggigit bibirnya saat
dokter Pram mulai memompa
tubuhnya. Mula-mula perlahan, tapi
semakin lama menjadi semakin
cepat hingga membuat tubuh ibu
guru muda yang cantik itu jadi
berguncang-guncang. Terutama
tonjolan buah dadanya yang sangat
besar, yang sayang jika disia-
siakan. Maka dokter Pram segera
menangkap dan memeganginya
sambil menggigit ringan kedua
puncaknya secara bergantian,
membuat Ustazah Nur kian merintih
dan menangis pilu.
Pagi itu, suasana yang sejuk
berubah menjadi panas. Tubuh tua
dokter Pram mulai dibanjiri keringat,
begitu juga dengan Ustazah Nur.
Kamar praktek dengan cat biru muda
itu seolah-olah berubah menjadi
kamar pengantin yang begitu indah
(bagi dokter Pram), diiringi deritan
ranjang besi yang bergerak pelan
seiring goyangan sepasang manusia
yang berbaring di atasnya.
Ustazah Nur sudah terdiam, pasrah
akan nasibnya. Melawan seperti
apapun, semuanya pasti sia-sia.
Kelakuan bejat dokter Pram tidak
mungkin dapat ia hindarkan.
Memang ia sendiri yang salah, mau
saja dijebak dengan alasan
pemeriksaan lanjutan. Kalau tahu
jadinya akan seperti ini, tentu ia
akan menolak tadi. Penyesalan
memang selalu datang terlambat.
Suara kecipak alat kelamin mereka
semakin keras terdengar. Dokter
Pram kembali melumat bibir
Ustazah Nur yang mengatup rapat
dan menghisapnya dengan begitu
rakus. ”Jangan diam saja, Ustazah...
saya tahu kalau Ustazah juga
menikmatinya!” lenguh dokter Pram,
membuat wajah Ustazah Nur jadi
kian memerah.
”Auw!” Ustazah Nur menjerit ketika
tiba-tiba dokter Pram merangkul dan
memeluk ketat dirinya. Di bawah, ia
merasakan penis sang dokter
berkedut-kedut pelan saat
menumpahkan segala isinya. Laki-
laki itu telah orgasme, ejakulasi di
dalam dirinya. Semprotan demi
semprotan benih terlarangnya
menerjang setiap sudut gua
kenikmatan Ustazah Nur bagai air
bah. Sangat kental dan banyak
sekali.
Ustazah Nur menangis pilu, ia
terisak pelan tanpa mengeluarkan
suara. Saat dokter Pram bangkit
meninggalkan tubuh sintalnya,
tampak cairan putih kental mengalir
keluar dari celah bibir kemaluannya,
menciptakan danau kecil di atas
sprei klinik yang putih bersih. Mata
Ustazah Nur menerawang ke langit-
langit kamar. Dadanya naik turun
membawa serta dua gunung indah di
atasnya, membuat dokter Pram jadi
tergoda untuk menjamahnya
kembali.
“Maafkan saya, Ustazah... saya
khilaf. Sebagai lelaki normal, berat
bagi saya untuk mengabaikan tubuh
indah Ustazah begitu saja. Sekali
lagi, maafkan saya. Kalau Ustazah
ingin lapor ke polisi, silakan saja.
Saya pasrah!” kata dokter Pram
sambil membenahi celananya.
Ustazah Nur melirik sekilas ke
penis sang dokter yang masih basah
belepotan sperma. Benda sebesar
lima jari itulah yang barusan
merenggut kehormatannya.
Kehormatan seorang istri yang lama
tidak dipuaskan oleh seorang suami,
yang tragisnya, menemukan
kepuasan itu dalam sebuah
pemerkosaan!
Ya, Ustazah Nur tidak ingin munafik.
Jujur ia mengakui, inilah
persetubuhan ternikmat yang pernah
ia rasakan. Penis besar dokter Pram
seperti memanjakannya, meski pada
awalnya memang sangat
menyakitkan. Namun begitu alat
kelamin mereka sudah mulai bisa
terbiasa dan bisa menyesuaikan diri,
bukan nyeri yang dirasakan oleh
Ustazah Nur, melainkan rasa nikmat
yang amat sangat, yang tidak pernah
ia dapatkan dari sang suami.
Itulah sebabnya kenapa tadi ia
terdiam di akhir-akhir permainan.
Ustazah Nur rupanya mulai bisa
menikmatinya. Tapi sayang, dokter
Pram keburu keluar duluan. Kalau
saja diteruskan lebih lama lagi, pasti
Ustazah Nur akan orgasme juga,
sesuatu yang sudah lama ia rindukan
dan cari-cari.
”Maafkan saya, Ustazah.” kata
dokter Pram sekali lagi,
menyadarkan Ustazah Nur dari
lamunannya.
Wanita itu memandang dengan muka
sayu dan berujar. ”Saya tidak akan
melaporkan ini ke polisi, dok, karena
ini merupakan salah saya juga. Tapi
saya berharap, ini jadi rahasia kita
berdua.”
“Saya akan jaga rahasia ini,
Ustazah,” jawab dokter Pram pelan
sambil berupaya memeluknya, kali
ini Ustazah Nur dengan pasrah
meringkuk dalam dekapannya dan
menumpahkan tangis di dada kurus
sang dokter.
Entah siapa yang memulai, kembali
bibir mereka saling bertemu dan
berpagutan. Tangan dokter Pram
kembali meremas-remas payudara
montok milik Ustazah Nur,
sementara Ustazah Nur dengan
malu-malu membalas dengan
mengusap-usap batang penis sang
dokter yang kembali siap tempur.
”Ustazah?” lirih dokter Pram.
Menyadari kalau ibu muda itu
ternyata juga memendam hasrat
kepada dirinya, maka dengan cepat
ia kembali menindih dan
mengangkangi Ustazah Nur. Ia
arahkan batang penisnya ke
selangkangan perempuan cantik itu.
”I-iya, lakukan, dok!” sahut Ustazah
Nur dengan pasti.
Tersenyum penuh kemenangan,
dokter Pram pun menusukkan
penisnya. ”Jlebb!” kembali batang
itu tenggelam dalam liang senggama
Ustazah Nur.
”Arghh... dok!” Kali ini Ustazah Nur
sudah tak malu-malu lagi
mengeluarkan suara rintihan nikmat.
Pantat moleknya tampak
berguncang-guncang akibat
hentakan sang dokter yang mulai
bergerak cepat.
Tangan dokter Pram meraih gunung
kembar yang terayun-ayun indah di
dada Ustazah Nur. Ia memijit dan
meremas-remasnya sambil terus
menggoyang keras.
”Ouuh... Dok!” rintih Ustazah Nur
menemani tusukan dokter Pram.
Tubuh mereka kembali basah,
berkilauan oleh keringat. Ronde
kedua ini lebih lama berlangsung.
Ustazah Nur makin mendesah-desah
saat nikmatnya orgasme mulai
terasa datang menyerang tubuh
sintalnya.
”Dok, terus! Aku... arghhhh!” dengan
satu teriakan kencang, tubuh
Ustazah Nur pun berguncang.
Kemaluannya berkedut cepat memijit
batang penis dokter Pram yang
masih bergerak cepat. Bersamaan
dengan itu, cairan bening
berhamburan memancar dari liang
senggamanya, menyiram penis sang
dokter hingga jadi terasa basah dan
lengket. Tubuh montok Ustazah Nur
gemetar hebat saat mengalaminya.
Itulah orgasme terdahsyat yang
pernah ia alami seumur hidupnya.
Yang pertama, sekaligus yang
ternikmat.
”Ustazah, ahh...” dokter Pram
menyusul tak lama kemudian.
Kembali cairan spermanya
menyiram mulut rahim Ustazah Nur
secara bertubi-tubi.
Pagi itu, hubungan profesional
seorang dokter dan pasiennya, telah
melanggar batas, berubah menjadi
hubungan terlarang sepasang
manusia yang masing-masing telah
terikat perkawinan.
Dokter Pram terlihat puas, begitu
juga dengan Ustazah Nur. Wanita itu,
yang awalnya begitu malu, sekarang
sudah menjadi nakal dan ketagihan.
Kembali ia merayu sang dokter tua
hingga sekali lagi mereka
melakukannya. Menjelang siang,
saat sekolah sudah akan bubar, baru
Ustazah Nur beranjak keluar dari
kamar praktek dokter Pram.
Tersungging senyum manis di
bibirnya yang tipis.
Hari-hari berikutnya, hubungan
haram itu terus berlangsung. Dan
membawa konsekuensi tumbuhnya
benih di rahim Ustazah Nur, padahal
bayinya yang pertama masih
berumur 3 bulan. Untunglah sang
suami sama sekali tidak curiga,
bahkan saat Ustazah Nur meminta
untuk diantar periksa ke dokter
Pram, laki-laki itu dengan senang
hati melakukannya. Dibiarkannya
sang istri tercinta masuk ke ruang
periksa tanpa ia dampingi, ia sama
sekali tidak tahu kalau di dalam,
dokter Pram sudah menunggu
kedatangan Ustazah Nur dengan
tubuh telanjang dan penis
mendongak ke atas begitu kencang.

4 komentar: